Senin, 26 Januari 2009

Tantangan Pendidikan Islam di Era Globalisasi

Oleh: A. Fatih Syuhud

Teknologi modern telah memungkinkan terciptanya komunikasi bebas lintas benua, lintas negara, menerobos berbagai pelosok perkampungan di pedesaan dan menyelusup di gang-gang sempit di perkotaan, melalui media audio (radio) dan audio visual (televisi, internet, dan lain-lain). Fenomena modern yang terjadi di awal milenium ketiga ini popular dengan sebutan globalisasi.

Sebagai akibatnya, media ini, khususnya televisi, dapat dijadikan alat yang sangat ampuh di tangan sekelompok orang atau golongan untuk menanamkan atau, sebaliknya, merusak nilai-nilai moral, untuk mempengaruhi atau mengontrol pola fikir seseorang oleh mereka yang mempunyai kekuasaan terhadap media tersebut. Persoalan sebenarnya terletak pada mereka yang menguasai komunikasi global tersebut memiliki perbedaan perspektif yang ekstrim dengan Islam dalam memberikan criteria nilai-nilai moral; antara nilai baik dan buruk, antara kebenaran sejati dan yang artifisial.Di sisi lain era kontemporer identik dengan era sains dan teknologi, yang pengembangannya tidak terlepas dari studi kritis dan riset yang tidak kenal henti. Dengan semangat yang tak pernah padam ini para saintis telah memberikan kontribusi yang besar kepada keseejahteraan umat manusia di samping kepada sains itu sendiri. Hal ini sesuai dengan identifikasi para saintis sebagai pecinta kebenaran dan pencarian untuk kebaikan seluruh umat manusia. Akan tetapi, sekali lagi, dengan perbedaan perspektif terhadap nilai-nilai etika dan moralitas agama, jargon saintis sebagai pencari kebenaran tampaknya perlu dipertanyakan. Apalagi bila dilihat data-data beriktu:
Di pusat riset Porton Down di Inggris para saintis memakai binatang-binatang yang masih hidup untuk menguji coba baju anti peluru. Hewan-hewan tersebut dimasukkan ke dalam troli yang kemudian diledakkan. Pada awalnya, monyet yang dipakai dalam berbagai eksperimen tetapi para saintis kemudian menggantinya dengan babi. Binatang-binatang tersebut ditembak persis di atas mata untuk meneliti efek daripada misil berkecepatan tinggi pada jaringan otak.

Di Amerika Serikat, di akhir tahun 40-an, anak-anak remaja diberi sarapan yang dicampuri radioaktif, ibu-ibu setengah baya disuntik dengan plutonium radioaktif dan biji kemaluan para tahanan disuntik radiasi – semua atas nama sains, kemajuan dan keamanan. Eksperimen-eksperimen ini diadakan sejak tahun 1940-an sampai 1970-an (Brown, 1994).

Selama tahun 1950-an, 60-an dan 70-an, menurut New York Times, wajib bagi seluruh mahasiswa baru, laki-laki dan perempuan, di Harvard, Yale dan universitas-universitas elit lain di Amerika, difoto telanjang untuk sebuah proyek besar yang didisain dalam rangka untuk menunjukkan bahwa ‘tubuh seseorang’ yang diukur dan dianalisa, dapat bercerita banyak tentang intelegensia, watak, nilai moral dan kemungkinan pencapaiannya di masa depan. Ide ini berasal dari pendiri Darwinisime Sosial, Francis Galton, yang mengajukan foto-foto arsip tersebut untuk dewan kependudukan Inggris. Sejak awal tujuan dari pemotretan-pemotretan ini adalah egenetika. Data-data yang terakumulasi akan dipakai sebagai proposal untuk ‘mengontrol dan membatasi produksi organisme dari orang-orang yang inferior dan tidak berguna’. Beberapa organisme tipe terakhir ini akan dikenakan sangsi bila melakukan reproduksi … atau akan disteril (Rosenbaum, 1995).

Sementara itu media televisi, sebagai hasil pencapaian teknologi modern yang paling luas jangkauannya memiliki dampak sosio-psikologis sangat kuat pada pemirsanya. Beberapa hasil studi berhasil menguak hubungan antara menonton televisi dengan sikap agresif (Huismon & Eron, 1986; Wiegman, Kuttschreuter & Baarda, 1992), dengan sikap anti social (Hagell & Newburn, 1996), dengan sikap aktifitas santai (Selnon & Reynolds, 1984), dengan kecenderungan gaya hidup (Henry & Patrick, 1977), dengan sikap rasial (Zeckerman, Singer &Singer, 1980), kecenderungan atas preferensi seksual (Silverman – Watkins & Sprafkin, 1983), kesadaran akan daya tarik seksual (Tan, 1979), stereotype peran seksual (Durkin, 1985), dengan bunuh diri (Gould & Shaffer, 1986), identifikasi diri dengan karakter-karakter di televisi (Shaheen, 1983).

Hasil-hasil studi yang lain tentang dampak-dampak televisi menunjukkan indikasi yang cenderung ‘agak menggembirakan’. Seperti adanya kesadaran akan segala peristiwa yang terjadi di seluruh dunia (Cairn, 1990), kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara (Conway, Steven & Smith, 1975), bertambhanya pengetahuan akan geografi (Earl & Pasternack, 1991), meningkatnya pengetahuan tentang masalah politik (Furnham & Gunter, 1983), bersikap pro social (Gunter, 1984).

Tetapi perlu dicatat bahwa sejak munculnyaera televisi dibarengi dengan timbulnya berpuluh-puluh channel dengan menawarkan berbagai acara-acara yang menarik dan bervariasi, umat Islam hanya berperan sebagai konsumen, orang Barat-lah (baca, non-Muslim) yang memegang kendali semua teknologi modern tak terkecuali televisi. Dari sini beberapa permasalahan, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan Islam, mencuat ke permukaan. Pertama, apa langkah yang harus ditempuh oleh setiap Muslim, orang tua dan para pendidik, dalam upaya mengantisipasi dan merespon sejak dini gejala-gejala distorsi moral yang adiakibatkan oleh media televisi, internet dan media-media audio visual lainnya?

Kedua, bahwa Barat merupakan satu-satunya pemegang peran kunci dari seluruh media berita baik media cetak, maupun media elektronik. Seperti dimaklumi pemberitaan-pemberitaan tersebut banyak mengandung bias, khususnya bila ada kaitan langsung atau tidak langsung dengan dunia Islam. Ketiga, sains dan teknologi menjadi dominasi khusus dunia Barat (Young, 1077), dengan demikian setiap Muslim yang berminat mendalami bidang-bidang ini harus mengikuti term-term yang ditentukan oleh Barat, yang tidak jarang bertentangan dengan nilai-nilai Islami. Sehingga dalam beberapa kasus sering terjadi para saintis Muslim, secara sadar atau tidak, tercerabut dari akar-akar keislaman, dan menjadi pembela fanatik Barat.

Dalam tulisan berikut konsep pendidikan Islam yang ditawarkan meliputi dua tahap, jangka pendek dan jangka panjang. Yang pertama melibatkan pertisipasi setiap individu Muslim, sedang yang kedua mencakup keterlibatan institusi, lembaga dan bahkan negara.

Diversifikasi Konsep Pendidikan Islam

Ahmed (1990) mendefinisikan pendidikan sebagai “suatu usaha yang dilakukan individu-individu dan masyarakat untuk mentransmisikan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan bentuk-bentuk ideal kehidupan mereka kepada generasi muda untuk membantu mereka dalam meneruskan aktifitas kehidupan secara efektif dan berhasil.”
Khan (1986) mendefinisikan maksud dan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut:

a. Memberikan pengajaran Al-Qur’an sebagai langkah pertama pendidikan.
b. Menanamkan pengertian-pengertian berdasarkan pada ajaran-ajaran fundamental Islam yang terwujud dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan bahwa ajaran-ajaran ini bersifat abadi.
c. Memberikan pengertian-pengertian dalam bentuk pengetahuan dan skill dengan pemahaman yang jelas bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
d. Menanamkan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis Iman dan Islam adalah pendidikan yang tidak utuh dan pincang.
e. Menciptakan generasi muda yang memiliki kekuatan baik dalam keimanan maupun dalam ilmu pengetahuan.
f. Mengembangkan manusia Islami yang berkualitas tinggi yang diakui secara universal.

Pendekatan pendidikan Islam yang diajukan oleh kedua pakar pendidikan di atas tersimpul dalam First World Conference on Muslim Education yang diadakan di Makkah pada tahun 1977:
“Tujuan daripada pendidikan (Islam) adalah menciptakan ‘manusia yang baik dan bertakwa ‘yang menyembah Allah dalam arti yang sebenarnya, yang membangun struktur pribadinya sesuai dengan syariah Islam serta melaksanakan segenap aktifitas kesehariannya sebagai wujud ketundukannya pada Tuhan.”
Oleh karena itu jelaslah bahwa yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini bukanlah dalam arti pendidikan ilmu-ilmu agama Islam yang pada gilirannya mengarah pada lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam madrasah, pesantren atau UIN (dulu IAIN).1 Akan tetapi yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini adalah menanamkan nilai-nilai fundamental Islam kepada setiap Muslim terlepas dari disiplin ilmu apapun yang akan dikaji. Sehingga diharapkan akan bermunculan “anak-anak muda enerjik yang berotak Jerman dan berhati Makkah” seperti yang sering dikatakan oleh mantan Presiden B.J. Habibie. Kata-kata senada dan lebih komprehensif diungkapkan oleh Al-Faruqi (1987) pendiri International Institute of Islamic Thought, Amerika Serikat, dalam upayanya mengislamkan ilmu pengetahuan. Sengaja saya kutip menurut teks aslinya untuk tidak mengurangi semangan universalitas Islam yang terkandung di dalamnya:

“Islamization does not mean subordination of any body of knowledge to dogmatic principles or arbitrary objectives, but liberation f rom such shackles. Islam regards all knowledge as critical; i.e., as universal, necessary and rational. It wants to see every claims pass through the tests of internal coherence correspondence with reality, and enhancement of human life and morality. Consequently, the Islamized discipline which we hope to reach in the future will turn a new page in the history of the human spirit, and bring it clear to the truth.”

Di sini perlu ditekankan bahwa konsep pendidikan dalam Islam adalah ‘long life education’ atau dalam bahasa Hadits Nabi “sejak dari pangkuan ibu sampai ke liang lahat” (from the cradle to the grave). Itu berarti pada tahap-tahap awal, khususnya sebelum memasuki bangku sekolah, perang orang tua terutama ibu amatlah krusial dan menentukan mengingat pada usia balita inilah pendidik, dalam hal ini orang tua, memegang peran penting di dalam menanamkan nilai-nilai keislaman kepada anak. Sayangnya orang tua bukanlah satu-satunya pendidik di rumah, ada pendidik lain yang kadang-kadang peranannya justru lebih dominan dari orang tua yang di Barat disebut dengan idiot box atau televisi. Dampak lebih jauh televisi terhadap perkembangan anak balita seperti yang dikatakan Hiesberger (1981) bisa mengarah pada “a dominant voice in our lives dan a major agent of socialization in the lives of our children” (menjadi suara dominan dalam kehidupan kita dan agen utama proses sosialisasi dalam kehidupan anak-anak kita).

Tentu saja peran orang tua tidak berhenti sampai di sini, keterlibatan orang tua juga diperlukan pada fase-fase berikutnya ketika anak mulai memasuki usia sekolah, baik SD, SMP, maupun SMU. Menjelang mas pubertas yakni pada usia antara dua belas sampai delapan belas tahun anak menjalani episode yang sangat kritis di mana sukses atau gagalnya karir masa depan anak sangat tergantung pada periode ini. Robert Havinghurst, pakar psikolog Amerika, menyebutkan periode ini sebagai “developmental task” atau proses perkembangn anak menuju usia dewasa.

Apabila kita kaitkan periode developmental task ini pada aspek budaya kehidupan anak-anak Muslim, khususnya mereka yang tinggal di negara-negara non-Muslim atau di negara Islam tapi di kota-kota besar, dapat dibayangkan situasi yang mereka hadapi. Mereka tidak pernah atau jarang melihat sikap positif terhadap Islam, baik dalam keluarga, di sekolah maupun di masyarakat. Dalam situasi seperti ini tentu merupakan tanggung jawab orang tua untuk menanamkan nilai0nilai moral, barbagi pengalaman kehidupan Islami yang pada gilirannya nanti akan mengarah pada internalisasi misi Al-Qur’an dan Sunnah. Peran orang tua seperti ini akan sangat membantu anak dalam memasuki kehidupan yang fungsional sebagai Muslim yang dewasa dan sebagai anggota yang aktif dalam komunitas Islam. Apabila anak menampakkan tanda-tanda sikap yang negatif terhadap Islam yang disebabkan oleh pengaruh dari sekolah atau masyarakat atau karena kecerobohan dan kelengahan orang tua, maka hal ini akan mengakibatkan penolakan anak terhadap hidup Islami dan akan gagal berintegrasi dengan komunitas Islam.

Oleh karena itu adalah tugas orang tua, khususnya dan utamnya, untuk mengatur strategi yangtepat dalam rangka membantu proses pembentukan pribadi anak khususnya dalam periode developmental task tersebut.. Dalam hal ini orang tua haruslah memiliki wawasan pengetahuan yang luas serta dasar pengetahuan agama yang mencukupi untuk menghindari kesalahan strategi dalam mendidik anak. Kedua, mengalokasikan waktu yang cukup untuk memberikan kesempatan bagi anak berinteraksi serta meresapi sikap-sikap Islami yang ditunjukkan oleh orang tua dalam perilaku kesehariannya. Persoalannya adalah secara factual tidak semua orang dapat memenuhi criteria-kriteria di atas yang disebabkan oleh hal-hal sebagai beriktu: (a) Orang tua, terutama ibu, tidak memiliki wawasan pengetahuan yang mempuni, khususnya di bidang pegagodi anak dan nilai-nilai dasar Islami. Dalam situasi semacam ini orang tua perlu mengambil langkah-langkah beriktu sebagai upaya mengantra anak menuju pintu gerbang masa depan yang cerah, sehat dan agamis.

Pertama, mendatangkan guru privat agama pada waktu usia anak di abwah dua belas tahun untuk mengajarkan nilai-nilai dasa Islam, termasuk cara membaca Al-Qur’an dan Hadits. Pada usia tiga belas tahun sampai dengan delapan belas tahun kandungan makna Al-Qur’an dan Hadits mulai diajarkan dengan metode yang praktis, sistematis dan komprehensif, mengingat pada periode ini anak sudah mulai disibukkan dengan pelajaran-pelajaran di sekolah. Dengan demikian diharapkan ketika memasuki bangku kuliah anak sudah memiliki gambaran yang utuh dan komprehensif tentang Islam, beserta nilai-nilai abadi yang terkandung di dalamnya. Sehingga ia tidak akan mudah menyerah terhadap tekanan-tekanan dan pengaruh-pengaruh luar yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, minimal ia akan tahu ke mana jalan untuk kembali ketika, oleh pengaruh eksternal yang terlalu kuat, ia melakukan penyimpangan-penyimpangan dari nilai-nilai Islam.

Kedua, menyekolahkan anak sejak dari SMP sampai SMU di lembaga-lembaga Islam semacam pesantren modern yang saat ini sudah banyak memiliki sekolah-sekolah umum yang berkualitas. Ketiga, memasukkan anak sejak TK sampai SMU di lembaga-lembaga pendidikan yang memakai lebel Islam, seperti yayasan Muhammadiyah, yayasan NU, yayasan al-Azahar dan lain-lain. Akan tetapi alternatif ketiga ini dalam pengamatan penulis tidak begitu efektif. Salah satu sebabnya adalah karena kurang komprehensifnya kurikulum keislaman di dalamnya. Kendatipun begitu, ini jauh lebih baik disbanding, misalnya, memasukkan anak ke sekolah-sekolah non-Muslim. Memang menyekolahkan anak ke sekolah-sekolah non-Muslim tidak berarti anak tersebut akan terkonversi ke agama lain, tetapi dampak minimal yang tak terhindarkan adalah timbulnya sikap skeptis dan apatis anak terhadap Islam.

Alhasil, semakin kuat nilai-nilai agama tertanam akan semakin kokoh resistansi anak terhadap pengaruh-pengaruh negatef dari luar. Studi kasus yang diadakan oleh Francis (1997) terhadap 20.968 anak remaja dari seratus sekolah yang tersebar diInggris dan Wales, menguatkan pendapat ini.
Reformasi Paradigma Pendidikan

Secara faktual hampir seluruh negara-negara Islam2 baru terlepas dari belenggu penjajahan Barat di akhir abad dua puluh tepatnya sekitar 1950-an. Pada umumnya terjadinya pemindahan kekuasaan dari penjajah ke tangan pribumi menimbulkan terjadinya perubahan politik di negara-negara tersebut yang sebagai akibatnya tertundanya reformasi pendidikan yang dicita-citakan sebelumnya. Rezim kekuasaan yang baru pasca kolonialisme tidak mampu memfokuskan diri pada tugas ini. Fokus utama mereka adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan di tengah-tengah terjadinya kekacauan politik. Oleh karena itu pegnembangan dan reformasi pendidikan menjadi terabaikan untuk beberapa waktu. Pendidikan hanya menjadi bagian dari retorika politik dan rencana-rencana pengembangan pendidikan terartikulasi tanpa adanya pencapaian yang berarti. Dewasa inipun anggaran negara yang dicangkan untuk program pendidikan di negara-negara Islam relatif sangat rendah sehingga infrastruktur pendidikan yang mutlak diperlukan tidak atau jarang tersedia. Sebagai contoh Malaysia, negara Islam yang relatif maju program pendidikannya ini, menurut UNESCO (1996) hanya mengalokasikan dana U$D 82 perkapita, sementara Indonesia sendiri cuma mengalokasikan U$D 6 perkapita.

Hal ini menimbulkan dampak-dampak yang tidak efektif, seperti pelajar yang hendak memperdalam ilmunya terpaksa harus pergi ke luar negeri yang biayanya relatif lebih mahal apalagi kalau tujuan belajarnya di negara-negara maju. Sementara kecenderungan belajar ke luar negeri ini menimbulkan persoalan tersendiri khususnya bagi mereka yang secara ekonomis kurang mampu.

Dari ribuan mahasiswa yang belajar di luar negeri - kecuali yang belajar di negara-negara maju seperti Amerika, Eropa dan Australia yang umumnya berlatar belakang ekonomi menengah ke atas - yang tersebar di Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh) dan Timur Tengah (Mesir, Jordan, Syria, Sudan, dan lain-lain) mayoritas adalah berlatar belakang ekonomi lemah (kaum santri pedesaan) yang untuk biaya studi dan menunjang kehidupan sehari-hari harus banting tulang bekerja part-time yang beraneka ragam mulai dari bekerja sebagai staf local di kedutaan-kedutaan Indonesia setempat,3 mengajar privat, berwiraswasta (seperti yang dilakukan sebagian mahasiswa Mesir dengan membuka warnet atau agen perjalanan), menjaga warnet, sampai bekerja sebagai guide jamaah haji, baik travel ONH Plus maupun jamaah haji biasa yang dikenal dengan istilah pekerja TEMUS (tenaga musim atau seasonal worker).4 Apa yang dihasilkan mereka selama kerja part-time, termasuk guide haji, umumnya sangat pas-pasan dan tidak seimbang dengan terbuangnya waktu dan tenaga yang mereka keluarkan.

Di samping itu, sudah bukan rahasia lagi bahwa di era Orde Baru pelajar mengalami banyak hambatan, khususnya untuk kuliah agama, untuk dapat belajar ke luar negeri apalagi untuk mendapatkan beasiswa. Bandingkan misalnya dengan Malaysia atau India. Para pelajarnya bukan hanya didorong untuk belajar ke luar negeri tetapi juga mendapat tawaran-tawaran beasiswa atau pinjaman-pinjaman jangka panjang yang menarik.5 Di era pasca Orba saat ini praktik-praktik mempersulit pelajar yang akan studi ke luar negeri masih saja terjadi yang dilakukan oleh berbagai pihak birokrasi yang terkait, mulai dari pengurusan paspor, permintaan rekomendasi, dan lain-lain hampir tak dapat dilakukan tanpa adanya uang pelicin di bawah meja.
Adanya amandemen konstitusi yang mengalokasikan 20% anggaran untuk pendidikan itu sudah bagus tapi langkah ini tentu saja belum cukup, masih dibutuhkan sejumlah langkah reformasi lain di bidang pendidikan termasuk di antaranya menghilangkan praktik diskriminasi pengalokasian dana antara institusi pendidikan di bawah Depdiknas dan Depag, perlunya peningkatan apresiasi kalangan birokrat terhadap pelajar dan mahasiswa dengan cara memberikan kemudahan – bukan malah mempersulit – segala proses yang berkaitan dengan prosedur urusan pendidikan. Lembaga-lembaga Islam semacam pesantren perlu mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pemerintah, baik moril maupun finansial, karena lembaga-lembagasemacam inilah yang berperan besar membantu program pemerintahdi dalam melestarikan nilai-nilai dan spirit Islam di satu sisi serta pemberantasan buta huruf di sisi lain, khususnya di daerah-daerah pedesaan yang notabene menjadi tempat mayoritas rakyat Indonesia.

Di lain pihak lembaga-lembaga Islam tradisional semacam pesantren, khususnya pesantren salaf perlu melepaskan diri dari blue-print lamanya dan memodernisasi system dan metede pendidikannya agar tidak tertinggal dengan perkembangan keilmuan modern yang melajubegitu pesat. Secara histories sejak awal berdirina pada sekitar abad enam belas melewati masa penjajahan, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi saa ini, pesatren salaf dikenal dengan sikapnya yang selalu menjaga jarak dengan kekuasaan (Federspiel, 1995) dan pemerintahpun enggan mendekati pesantren kecuali saat-saat menjelang PEMILU. Di “Orde Reformasi” ini sangat urgen adanya sikap kebersamaan antara lembaga-lembaga agama, khususnya lembaga Islam dengan pemerintah melalui pendekatan yang bersifat mutual respect (saling menghargai), mutual understanding (saling memahami) dan mutual need (saling membutuhkan) dengan tujuan yang pasti yaitu untuk semakin mendorong laju pertumbuhan pendidikan demi terciptanya jutaan pakar-pakar Iptek yang ber-imtak. Dalam hal ini sikap arogansi kekuasaan di satu pihak dan rasa inferioritas di pihak lain, mutlak harus dihapuskan.

Sementara itu sesuai dengan latar belakang dan kecenderungan yang berbeda, para ilmuwan terbagi dalam dua kategori yaitu, (a) ilmuwan agama, yakni ilmuwan yang mengadakan pengkajian khusus berbagai disiplin ilmu agama dan (b) ilmuwan umum, yakni para pakar yang mengambil spesifikasi berbagai disiplin ilmu duniawi kontemporer. Para ilmuwan umum tentunya akan ‘menggarap’ lading yang sesuai dengan bidang-bidang yang menjadi keahlian mereka masing-masing sementara fungsi para ilmuwan agama di sini adalah (a) sebagai meditor antara aspirasi umat dengan para pakar iptek, (b) mengadakan hubungan yang proporsional dengan para pakar komunikasi massa dalam rangka memanfaatkan media massa, khususnya televisi dan internet, sebagai upayaunifikasi dan pengembangan umat dan (c) menyatukan paradigma para pakar iptek Muslim bahwa apa yang akan, sedang dan telah diperbuat selalu mengandung dua dimensi yaitu pengabdian kepada Allah (ibadah) dan untuk kebaikan serta rahmat seluruh umat manusia (Nawwab, 1979). Yang pada gilirannya nanti akan mengarah pada Islamisasi iptek sebagaimana yang dicita-citakan oleh Al-Faruqi di atas.

Penutup

Gambaran solusi Islami terhadap tantangan-tantangan pendidikan di era globalisasi di atas, bagaimanapun, merupakan disain besar, yang oleh sebagian kalangn mungkin dianggap terlalu romantis. Kendatipun bukan berarti mustahil dilakukan dengan melihat beberapa fenomena paling mutakhir di berbagai dunia Islam, khususnya Indonesia meliputi (a) semakin menipisnya dikotomi antara – meminjam istilah Clifford Geertz – Islam Santri dan Islam Abangan, (b) semakin banyaknya pakar iptek yang berlatar belakang santri, (c) semakin tipisnya friksi yang trjadi antara berbagai organisasi Islam yang disebabkan oleh semakin tajamnya visi Islam mereka dalam awal milenium ini dan (d) terjadinya perubahan dahsyat dalam konstalasi politik di Indonesia dari ‘demokrasi artifisial, menuju demokrasi yang relatif dapat diharapkan.

Untuk itu yang paling diperlukan guna mengimplementasikan blue-print di atas adalah visi yang jauh ke depan dan political will semua pihak yang terkait yaitu: individu-individu Muslim (termasuk orang tua), para pakar iptek dan agama, institusi-institusi pendidikan, lembaga-lembaga Islam serta pemerintah. Tanpa adanya unifikasi political will berbagai elemen di atas, umat Islam Indonesia akan tetap terbelakang. Dan bila demikian Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju, sebagaimana yang dikatakan oleh Sayidiman Suryohadiprojo, mantan gubernur Lemhanan (Republika, 23/09/1994).

Kandidat Doktor Islamic Studies, di Jamia Millia University, New Delhi, India dan alumni Sidogiri

1 Institusi-institusi semacam ini disebut lembaga pendidikan Islam dalam arti bahwa ia merupakantempat kajian ilmu-ilmu agama Islam. Asfar (1996) membagi ilmu pada dua kategori. Pertama, ilmu agama yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan agama secara langsung seperti ilmu Fiqh, ilmu Tauhid, ilmu Hadits, ilmu Tafsir dan sebagainya. Kedua, ilmu duniawi yang berarti segala disiplin ilmu umum meliputi sains, teknologi dan lainlain. Selanjutnya lembaga pendidikan Islam semacam pesantren dan lain-lain akan disebut lembaga Islam.
2 Yang dimaksud negara Islam di sini adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Jadi tidak hanya berkonotasi pada negara-negara yang secara konstitusi berideologikan Islam. Istilah ini dipakai hampir oleh seluruh penulis Muslim ataupun no-Muslim (orientalis) yang membahas tentang Islam. Lihat, misalnya Khusro (1981).
3 Kedutaan yang mempekerjakan mahasiswa Indonesia umumnya KBRI di Timur Tengah (Mesir, Syria, Tunisia, dll), sedangkan untuk KBRI India tampak lebih menyukai staf local yang langsung diambil dari Indonesia yang relatif kurang pengalaman, padahal banyak mahasiswa India yang berminat. Belum jelas apa sebab di balik penolakan KBRI India ini.
4 Dulu mahasiswa Asia Selatan dan Timur Tengah cukup mengandalkan biaya hidup dan kuliah mereka dari bekerja jadi guide haji setiap tahun, umumnya jadi guide di ONH Plus. Sekarang dengan turunnya peraturan pemerintah Saudi yang hanya membolehkan haji setiap lima tahun sekali, maka rejeki dari sector ini jadi tidak bisa diharapkan lagi, dan cuma mengharapkan bekerja sebagai guide haji biasa atau TEMUS yang tidak bisa dilakukan setiap tahun karena adanya keterbatasan quota dari Departemen Agama untuk setiap negara sehingga mahasiswa harus rela bergiliran.
5 Di Malaysia dan India prosedur untuk mendapatkan beasiswa dilakukan dan diumumkan dengan sangat transparan yang memungkinkan siapa saja yang berkualitas akan mendapatkannya tanpa kekuatiran akan di’kudeta’ oleh pihak-pihak tertentu.

Bibliografi

Ahmed, Manzoor (1990), Islamic Education, New Delhi: Qazi Publishers, hlm. 1

Asfar, Muhamad (1996), “Ulama dan Politik: Perspektif Masa Depan”, Ulumul Quran, 5(VI), hlm. 4-18.Brown, Chip, “The Science Club Serves its Country” dalam Esquire, December 1994.

Cairns, E. (1990), “Impact of Television News Exposure on Children’s Perceptions of Violence in Northern Ireland” Journal of Social Psychology, hlm. 130, 447-452.

Conway, M.M., Stevens, A.J. & Smith, R.G. (1975), “The Relation between Media Use and Children’s Civic Awareness”, Journalism Quarterly, hlm. 52, 531-538.

Durkin, K. (1985), Television, Sex-roles and Children, Milton Keynes, Open University Press.

Earl, R.A. & Pastermack, S. (1991), “Television Weather Casts and their Role in Geographic Education”, Journal of Geography, hlm. 90, 113-117.

Faruqi, Isma’il al- (1987), “Foreward” dalam Akbar S. Ahmed Toward Islamic Anhtropology: Definition, Dogma and Directions, Lahore, hlm.7.

Francis, Leslie J. (1997), “The Socio-psychological Profile of the Teenage Television Addict” dalam The Muslim Education Quarterly, 1 (15), hlm 5-19.

Federspiel, Howard M. (1995), “Pesantren” dalam Esposito, J.L. The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, London: Oxford University Press, Vol.3, hlm.325-326.

Gould, M.S. & Shaffer, D. (1986), “The Impact of Suicide in Television Movies”, New England Journal of Medicine, 315, 690-694

Furnham, A. & Gunter, B. (1983), “Political Knowledge and Awareness in Adolescent”, Journal of Adolescence, 6, 373-385.

Gunter, B. (1984), “Television as Facilitator of Good Behaviour among Children”, Journal of Moral Education, 13, 152-159.

Huesman, L.R. & Eron, L.D. (Eds.) (1986), Television and the Aggressive Child: A cross-national comparison, Hillsdale, New Jersey, Erlbaum.

Hegell, A & Newburn, T. (1996), “Comparison of the Viewing Habits and Preferences of Young Offenders and Representative Shool Children”, Pastoral Care, 14, 1, hlm. 31-42.

Hiesberger, J.M. (1981), “The Ultimate Challenge to Religious Education” dalam Religious Education, 76 (4), hlm.355-359.

Hendry, L.B. & Thornton, D.J.E. (1976), “Games Theory, Television and Leisure: an Adolescent Study, dalam British Journal of Social and Clinical Psychology, 15, hlm.369-376.

Khan, Sharif (1986), Islamic Education, New Delhi: Ashish Publishing House, hlm.37-38.

Khan, Sharif (1997), Some Aspects of Islamic Education, Ambala Cantt. (India): Associated Publishers, hlm.61-64.

Khusro, Syed Ali Muhammad (1981), “Education in Islamic Society” dalam Khan, Muhammad Wasiullah, Education and Society in the Muslim World, Jeddah: Hodder & Stoughton – King Abdulaziz University, hlm.82-84.

Rosenbaum, Ron (1995), “Even the Wife of the President of the United States had to Stand Naked”, The Independent, 21 January, cetak ulang dari kisah dalam The New York Times.

Selnow, G.A. & Reynolds, H. (1984), “some Opportunity Costs of Television Viewing”, Journal of Broadcasting, 28, hlm. 315-322.

Silverman-Watkins, L.T. & Sprafkin, J.N. (1983), “Adolescent’ Comprehension of televised Sexual Innuendos”, dalam Journal of Applied Developmental Psychology, 4, hlm.359-369.

Sheehan, P.W. (1983),”Age Trends and Correlats of Children’s Television Viewing”, dalam Australian Journal of Psychology, 35, hlm. 417-431.

Tidhar, C.E. & Peri, S. (1990), “Deceitful behaviour in Situation Comedy: Effects on Children’s Perceptions of Social Reality”, dalam Journal of Educational television, 16, hlm. 61-67.

Tan, A.S. (1979), “Television Beauty Ads and Role Expectations of Adolescent Female Viewers”, dalam Journalism Quarterly, 56, hlm. 283-288.

Telfer, R.J. & Kann, R.S. (1984), “Reading Achievement, Free reading, Watching TV, and Listening to Music”, Journal of Reading, 27, hlm.536-539.

UNESCO (1996), dalam Jawed, Muhammad, (Ed.) Year Book of the Muslim World: A Handy Encyclopaedia, New Delhi: Medialine, hlm. 53-54.

Wiegman, O., Kuttschreuter, M. & Baarda, B. (1992), “A Longitudinal Study of the Effects of Television Viewing on Aggressive and Prosocial Behaviors”, dalam A British Journal of Socail Psychology, 31, hlm. 147-164.

Young, Robert (1997), “Science is Social Relations”, dalam Radical Science Journal, 5, hlm. 65-131.

Zuckerman, D.M., Singer, D.G. & Singer J.L. (1980), “Children’s Television Viewing, Racial and Sex-role Attitude”, dalam Journal of applied Social Psychology”, 10, hlm.281-294.

Wanita dalam Pandangan Islam

I. Pendahuluan

Wanita adalah sosok yang kerap kali menjadi perbincangan yang tiada habisnya. Sesuatu yang menyangkut wanita akan terus mendapat perhatian untuk dibicarakan. Bagi sebagian orang, wanita adalah masyarakat kelas dua. Ia tidak berhak untuk berpendapat bahkan mengurus dirinya sendiri. Semuanya diatur oleh laki-laki. Di satu sisi ada yang begitu memuja wanita. Hidup seakan mati tanpanya, segala yang dilakukannya adalah untuk wanita.

Disisi lain banyak para filosofis menganggap wanita sebagai biang keladi terjadinya berbagai bentuk bencana dan tindak kriminalitas di dunia. Negara hancur karena wanita. Seorang pangeran bahkan ada yang rela menanggalkan mahkotanya kerajaannya karena wanita. Pertikaian muncul akibat perebutan wanita. Bahkan muncul permasalahan dari kaum agama bahwa wanitalah yang menyebabkan Nabi Adam as. turun ke bumi. Wanita dianggap penyebab terjadinya dosa.

II. Pandangan Manusia Terhadap Wanita

Secara umum ada dua kelompok manusia dalam memandang wanita, yaitu:

a. Kelompok yang berbaik sangka kepada wanita, Seorang pujangga pernah berkata:

Kaum wanita itu bagaikan minyak kesturi…
Yang diciptakan untuk kita…
Setiap kita tentu merasa senang mencium aromanya…
Seorang ibu ibarat sekolah…
Apabila kamu siapkan dengan baik…

Berarti kamu menyiapkan satu bangsa yang harum namanya…
…Dibalik keberhasilan setiap Pemimpin ada wanita…

b. Kelompok yang menjadi musuh wanita, Pujangga lain berkata:

Kaum wanita itu bagaikan syaithan…
Yang diciptakan untuk kita…
Kita berlindung kepada Allah…
Bila ada kerusakan di bumi ini lihat wanitanya…

Satu hal yang perlu direnungi bersama adalah baik kelompok yang memuja maupun yang membencinya terkadang melakukan tindakan eksploitasi terhadap keberadaan wanita. Seringkali wanita tidak menyadari bahwa apakah dirinya dieksploitasi (dimanfaatkan) atau dimuliakan. Oleh karena itulah setiap muslim perlu mengetahui bagaimana Islam memperlakukan wanita. Berdasarkan lembaran sejarah, kita mengetahui bagaimana wanita dapat memiliki dirinya sendiri dan menyadari keberadaannya tidak hanya sebagai saudara dari laki-laki namun yang terpenting adalah hamba Allah SWT yang sama-sama menyembah Allah SWT.

Islamlah yang membebaskan wanita dari anggapan buruk terhina memiliki anak perempuan. Kisah Umar bin Khatab menjelaskan bagaimana budaya Arab jahiliyah terhadap wanita, sehingga ia rela menguburkan anak perempuannya agar tidak mendapat malu. Pada saat itu wanita menjadi harta warisan bila ayahnya wafat. Islam pulalah yang mengajarkan kedua orang tua untuk merawat dan mendidik anak perempuannya bila keduanya ingin masuk syurga.

III. Pandangan Islam Terhadap Wanita

Dalam Islam, wanita bukanlah musuh atau lawan kaum laki-laki. Sebaliknya wanita adalah bagian dari laki-laki demikian pula laki-laki adalah bagian dari wanita, keduanya bersifat saling melengkapi. (QS. Ali Imran (3) : 195)

Dalam Islam tidak pernah dibayangkan adanya pengurangan hak wanita atau penzhaliman wanita demi kepentingan laki-laki karena Islam adalah syariat yang diturunkan untuk laki-laki dan perempuan. Akan tetapi ada beberapa pemikiran keliru tentang wanita yang menyelusup ke dalam benak sekelompok umat Islam sehingga mereka senantiasa memiliki persepsi negatif terhadap watak dan peran wanita. Salah satu contohnya adalah perlarangan wanita keluar rumah untuk menuntut ilmu dan mendalami agama dengan alasan ada orang tua dan suami yang yang berhak dan berkewajiban mendidik serta memberikan pelajaran. Akibatnya mereka menghambat wanita dari pancaran ilmu pengetahuan dan memaksanya hidup dalam kegelapan dan kebodohan.

1. Laki-laki dan wanita dari asal yang sama, QS. An Nisaa’ (4) : 1
2. Tanggung jawab kemanusiaan seorang wanita, QS. Ali Imran (3) : 195
3. Pembebasan wanita dari kezhaliman jahiliyah, QS. An Nahl (16) : 58-59
4. Pembebasan wanita dari pengharaman hal yang baik pada masa jahiliyah. Seringkali wanita diharamkan untuk memakan sesuatu atau memiliki sesuatu. Ketika Islam datang maka pengharaman itu digugurkan, sehingga wanita memperoleh hak yang sama mengenai hal ini, QS. Al An’aam (6) : 139
5. Pembebasan dari harta warisan dan dalam perkawinan, QS. An Nisaa’ (4) : 19
6. Pembebasan dari buruknya hubungan keluarga akibat perkawinan. Pada masa jahiliyah, wanita yang telah menikah dengan bapaknya dapat diturunkan kepada anak yang dilahirkannya sehingga akan menimbulkan kerancuan dan kehancuran dalam keluarga namun setelah Islam datang semua itu diharamkan, QS. An Nisaa’ (4) : 22-23
7. Penegasan tentang karakteristik wanita muslimah :

a. Wanita dan pria memiliki peran yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristiknya masing-masing, QS. Al Lail (92) : 1-4

b. Menutup aurat
Bila kita mau merenungi dan mengambil hikmah dari perintah Allah kepada muslimah untuk menutup aurat pada dasarnya adalah menjaga dan melindungi wanita itu dari kemungkinan negatif dari pandangan manusia yang melihatnya serta menjaganya agar dapat aman beraktivitas, QS. An Nur (24) : 31

c. Mendapat balasan yang sama dengan laki-laki di akhirat, QS. Al Hadid (57) : 12
Referensi :
1. Kebebasan Wanita Jilid 1, DR. Yusuf Qordhowi dan Muhammad Al Ghazali
2. Jati Diri Wanita Muslimah, Musthofa Muhammad Thahhan

Friendster VS Facebook

Meski sama sama social network, Friendster dan Facebook sama sama mempunyai karakter sendiri-sendiri, terutama untuk fitur yang diberikan pada user. Friendster dan Facebook sama sama mengacu pada kemudahan user untuk menjadi member baru.

REGISTRASI

Untuk form registrasi, Friendster dan Facebook sama sama memberi kemudahan. Hal ini dapat dilihat pada halaman depan Friendster dan Facebook dimana keduanya langsung memberi penawaran bagi yang belum menjadi member baru. Bila bisa dinilai pada step registrasi, Friendster dan Facebook, keduanya sama sama mengacu pada kemudahan user untuk bergabung didalamnya.

Score:

Friendster: 1 Facebok: 1

CISTOMIZE

Pada halaman bagian ini akan terlihat perbedaan antara Friendster dan Facebook. Pada Friendster, halaman depan sederhana dengan memberi pembagian segmen yang jelas. Bentuk informasi yang diberikan Friendster ini relative singkat dan cenderung menggunakan link.

Bila Anda bosan dengan tampilan default Friendster, Anda bisa melakukan editing untuk profile tersebut. Anda bisa mengubah dan mengganti tata letak serta pewarnaan dari halaman profile. Fitur CSS Friendster jelas lebih memanjakan user untuk membangun sebuah tampilan profile yang unik.

Sedangkan pada Facebook, halaman depannya juga memberi bentuk yang sederhana, bahkan cenderung lebih banyak teksnya dibandingkan dengan foto. Ukuran foto yang ditampilkan pun relative kecil, sehingga jelas terlihat kalau Facebook lebih mengumtamakan load pada halaman depan.

Untuk melakukan editing pada tampilan Facebook memang tidak semudah melakukan editing pada friendster. Artinya, pada Facebook, user “dipaksa” menggunakan tampilan default. Memang beberapa user biSA melakukan editing pada profile facebook, tapi tentu user yang berpengalaman.

Score:

Friendster :1 Facebook :0

Privasi

Privasi pada sebuah social network adalah hal yang mutlak. Seseorang biasanya enggan memberikan nama aslinya dan cenderung memberikan nama samarannya. Hal ini dimungkinkan karena sistem privasi yang kurang.

Pada Friendster, system privasi profile memang sudah ada, tapi ada beberapa data yang buisa ditampilkan, seperti nama, kota, atau alamat.

Sedangkan pada Facebook, privasi terbilang cukup bagus. Dengan fitur tawaran Privacy setting, memungkinkan user untuk mengeset siapa yang diperbolehkan mengakses informasi pada profile, dan siapa yang tidak. Mungkin hal ini yang menyebabkan banyak public figure yang nyaman memiliki account facebook dengan namanya sendiri.

Score:

Friendster: 1 Facebook: 2

Bagan komentar

Bagi yang sudah mempunyai Friendster, pasti sudah paham dengan yang namanya komentar atau dalam bahasa Friendster disebut testi. Pada bagian ini, Friendster masih dirasa sangat kurang karena tidak bisa menanggapi secara langsung komentar yang dituliskan orang lain. Apalagi, untuk sebuah komentar harus masuk seleksi terlebih dahulu sebelum ditampilkan pada profile.

Lain halnya dengan Facebook, dengan fitur News Feed dan Live Feed, user bisa melihat aktivitas apa saja yang baru dilakukan oleh seseorang di Facebook, Selain itu, satu komentar bisa dikomentari dengan rapi tanpa mengganggu komentar yang lainnya. Artinya, pemisahan untuk komentar ini cukup bagus.

Dari beberapa penilaian di atas memang facebook masih lebih unggul dibandingkan Friendster. Tapi penilaian di atas memang tidak mutlak, karena sebuah social network bergantung pada perilaku user itu sendiri. Facebook memang memiliki banyak fitur, tetapi saking banyaknya fitur yang disediakan, user jadi kurang bisa memaksimalkan fitur fitur tersebut. Berbeda dengan Friendster yang lebih mudah dipelajai.

Pengaruh Metode Pembelajaran dan Motivasi Bermain Komputer terhadap Kreativitas Bermain Komputer Anak di RA Persis 56 Kota Tasikmalaya

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan anak usia dini sebagai strategi pembangunan sumber daya manusia haruslah dipandang sebagai titik sentral dan sangat fundamental serta strategis mengingat usia dini merupakan masa keemasan namun sekaligus periode yang sangat kritis dalam tahap perkembangan manusia. Pertumbuhan dan perkembangan anak pada usia dini sangat menentukan derajat kualitas manusia pada tahap berikutnya. Dengan demikian invenstasi pengembangan anak usia dini merupakan invenstasi sangat penting bagi Sumber Daya Manusia yang berkualitas.

Dalam konteks pengembangan sumberdaya manusia, pendidikan anak usia dini, khususnya pendidikan anak usia dini harus dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Berbagai kemampuan yang teraktualisasikan beranjak dari berfungsinya otak anak. Oleh karena itu dalam upaya pendidikan anak usia dini, baik pendidik maupun orang tua dalam mengarahkan belajar anak perlu memperhatikan masalah yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan psikologis, perkembangan inteligensi, emosional dan motivasi, serta pengembangan kreativitas anak.

Secara khusus dalam pembelajaran pada anak usia dini sudah saatnya pengembangan kreativitas anak memperoleh perhatian sehingga dapat mengembangkan berfungsinya kedua belahan otak secara seimbang. Pembelajaran yang mengendalikan berfungsinya kedua belahan otak secara seimbang akan banyak membantu anak berprakarsa mengatasi dirinya, meningkatkan prestasi belajar sehingga mencapai kemandirian dan mampu menghadapi berbagai tantangan.

Masalah pengembangan kreativitas anak terus menjadi pembicaraan para ahli pendidikan, khususnya pada pendidikan anak prasekolah dan terus dilakukan penelitian khususnya yang menyangkut pengoptimalan fungsi belahan otak kanan sebagai fungsi kreativitas dan imajinasi anak. Atas dasar asumsi ini, maka pengembangan kreativitas menjadi sangat penting digalakkan pada pendidikan anak usia dini.

Belum berkembangnya kurikulum berbasis kreativitas, khususnya dalam pembelajaran komputer disinyalir masih banyaknya anggapan yang keliru tentang fungsi media komputer bagi pendidikan anak usia dini. Pembelajaran komputer pada anak usia dini masih terbatas kepada pengenalan keyboard, mouse, dan peralatan lain serta fungsi komputer sebagai alat untuk bermain edu-game dan pengenalan bacaan dan bilangan. Untuk kepentingan pengembangan pembelajaran komputer berbasis kreativitas di kelompok bermain, menuntut anak dapat menguasai aplikasi penggunaan software komputer sehingga dapat membantu anak-anak belajar dan bermain dengan software komputer yang sesuai dengan tingkat perkembangan dan jenis kompetensi yang hendak dikembangkan. Untuk itu, berkaitan dengan pengembangan kreativitas anak, maka baik tutor maupun anak harus dapat memilih software yang dapat membantu mengembangkan kreativitas anak seperti aktivitas menggambar, mewarnai, mengadopsi, memodifikasi, dan mengkonstruksi gambar.

Untuk mengembangkan kreativitas bermain komputer anak usia dini tidaklah mudah dan diperlukan pemilihan metode pembelajaran yang tepat. Sejauhmana pengaruh metode pembelajaran terhadap peningkatan kreativitas anak dalam bermain komputer, merupakan masalah yang belum ada jawabannya. Demikian juga dengan faktor psikologis anak, khususnya motivasi bermain komputer anak yang juga diduga memiliki pengaruh terhadap pengembangan kreativitas anak dalam bermain komputer. Selama ini belum banyak upaya yang dilakukan untuk menata penggunaan metode pembelajaran yang ditinjau dari faktor internal anak melalui eksperimen dalam rangka meningkatkan kreativitas bermain komputer anak.

Realita yang ada kadang-kadang sebaliknya, pemilihan jenis metode pembelajaran dimaksudkan agar anak belajar menerima apa yang diberikan tutor, belajar secara mekanik, materi seragam, sesuai pola yang telah disepakati, tanpa memberikan kebebasan kepada anak untuk berkreasi, berimajinasi, berfantasi, berinovasi sesuai dengan kekuatan dan keunikan anak. Akibatnya, ketika anak kurang dapat melakukan sebagaimana tuntutan tugas yang diberikan oleh pendidik, maka hal tersebut diterima oleh anak sebagai tekanan psikologis dan sering menimbulkan rasa harga diri kurang serta menjadi motivasi bermain anak lemah.

Untuk itu perlu adanya alternatif pemilihan penggunaan metode pembelajaran yang lebih konstruktif, menekankan kepada kebebasan anak baik secara individu dan kelompok yang diliputi oleh motivasi bermain, didasari oleh sikap senang dalam bermain komputer.

Atas dasar pemikiran tersebut selanjutnya penelitian ini dilakukan untuk mengkaji tentang metode pembelajaran mana yang tepat dalam meningkatkan kreativitas anak dalam bermain komputer. Apakah metode pembelajaran yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kreativitas anak dalam bermain komputer. Manakah yang lebih efektif antara metode pembelajaran kolaboratif dan metode pembelajaran mandiri. Apakah motivasi bermain komputer anak juga merupakan variabel yang turut berpengaruh terhadap kreativitas anak dalam bermain komputer.

Apakah perbedaan motivasi bermain komputer pada anak akan membawa perbedaan terhadap kreativitas anak dalam bermain komputer dan bagaimana interaksi antara metode pembelajaran dan motivasi bermain komputer terhadap kreativitas bermain komputer anak, karena setiap anak memiliki cara dan gaya dalam bermain komputer secara unik. Hal ini menarik perhatian untuk melakukan penelitian dengan judul: “Pengaruh Metode Pembelajaran dan Motivasi Bermain Komputer terhadap Kreativitas Bermain Komputer Anak di RA Persis 56 Kota Tasikmalaya

B. Perumusan Masalah

Permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah terdapat perbedaan kreativitas bermain komputer antara kelompok anak yang mengikuti metode pembelajaran kolaboratif dan kelompok anak yang mengkuti metode pembelajaran mandiri dalam pembelajaran computer?

2. Apakah terdapat perbedaan kreativitas bermain komputer antara kelompok anak yang memiliki motivasi bermain komputer tinggi dan kelompok anak yang memiliki motivasi bermain komputer rendah?

3. Apakah terdapat interaksi antara metode pembelajaran dan motivasi bermain komputer terhadap kreativitas bermain komputer anak?

4. Pada kelompok anak yang memiliki motivasi bermain komputer tinggi, apakah terdapat perbedaan kreativitas bermain komputer antara kelompok anak yang mengikuti metode pembelajaran kolaboratif dan kelompok anak yang mengikuti metode pembelajaran mandiri?

5. Pada kelompok anak yang memiliki motivasi bermain komputer rendah, apakah terdapat perbedaan kreativitas bermain komputer antara kelompok anak yang mengikuti metode pembelajaran kolaboratif dan kelompok anak yang mengikuti metode pembelajaran mandiri?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui perbedaan kreativitas bermain komputer antara kelompok anak yang mengikuti metode pembelajaran kolaboratif dan kelompok anak yang mengkuti metode pembelajaran mandiri dalam pembelajaran computer.

2. Untuk mengetahui perbedaan kreativitas bermain komputer antara kelompok anak yang memiliki motivasi bermain komputer tinggi dan kelompok anak yang memiliki motivasi bermain komputer rendah.

3. Untuk mengetahui ada tidaknya interaksi antara metode pembelajaran dan motivasi bermain komputer terhadap kreativitas bermain komputer anak.

4. Untuk mengetahui pada kelompok anak yang memiliki motivasi bermain komputer tinggi, apakah terdapat perbedaan kreativitas bermain komputer antara kelompok anak yang mengikuti metode pembelajaran kolaboratif dan kelompok anak yang mengikuti metode pembelajaran mandiri.

5. Untuk mengetahui pada kelompok anak yang memiliki motivasi bermain komputer rendah, apakah terdapat perbedaan kreativitas bermain komputer antara kelompok anak yang mengikuti metode pembelajaran kolaboratif dan kelompok anak yang mengikuti metode pembelajaran mandiri.

D. Manfaat Penelitian

Pertama, penelitian ini untuk menerapkan metode pembelajaran kolaboratif guna meningkatkan potensi berpikir kreatif anak usia dini dalam bermain komputer dan mengatasi kesulitan-kesulitan serta kesalahan-kesalahan konsep dan keterampilan anak dalam mengembangkan kreativitas melalui media komputer.

Kedua, memberikan informasi kepada pendidik tentang level motivasi bermain komputer yang dimiliki anak, sehingga pada topik pembelajaran kreativitas bermain komputer untuk klasifikasi tertentu, diharapkan guru dapat melakukan pilihan penggunaan metode pembelajaran yang sesuai dengan kondisi motivasi anak. Tutor dapat menggunakan metode pembelajaran kolaboratif untuk anak yang memiliki motivasi bermain komputer tinggi, dan sebaliknya pendidik dapat menggunakan metode pembelajaran mandiri untuk kelompok anak yang memiliki motivasi bermain komputer rendah.

Ketiga, pendidik dapat melihat pada topik-topik mana pengembangan kreativitas bermain komputer dikuasai anak, sehingga perlu mempertimbangkan kembali metode pembelajaran yang cocok, sehingga kreativitas anak dapat dikembangkan.

Keempat, menginformasikan kepada guru bahwa penggunaan metode pembelajaran dengan mempertimbangkan tingkat motivasi bermain yang dimiliki anak akan mempermudah bagi anak untuk trampil dalam berkreasi gambar melalui media komputer sehingga akan memberikan pengaruh yang besar pada peningkatan kreativitas anak melalui media komputer.

Kelima, instruktur/pelatih pembelajaran komputer mensosialisasikan kepada pengajar komputer di pendidikan anak usia dini bahwa pada kelas di mana banyak terdapat anak yang memiliki motivasi bermain komputer tinggi sebaiknya diajar dengan metode pembelajaran kolaboratif, dan sebaliknya bagi anak yang memiliki motivasi bermain komputer rendah diajar dengan metode pembelajaran mandiri.



BAB III

PROSEDUR PENELITIAN TINDAKAN

A. Lokasi dan Subyek Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada RA Persis 56 Kota Tasikmalaya. Dalam penelitian ini populasi seluruh anak kelas B RA Persis 56. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan teknik multistage random sampling. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara bertahap. Pada tahap pertama dipilih secara random 2 (dua) kelas dari 4 kelas yang memiliki karakteristik yang sama. Setelah dilakukan pemilihan secara random, maka terpilih Kelas B2 dan Kelas B3. Pengambilan sampel pada tahap kedua yaitu aanggota sampel secara random terpilih sebanyak 16 anak kelompok atas maupun kelompok bawah, baik dari kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol.

B. Prosedur

  1. Perencanaan Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan rancangan desain faktorial 2 x 2. Dalam penelitian ini dilibatkan tiga variabel, yakni variabel bebas, variabel atribut, dan variabel terikat. Variabel bebas adalah metode pembelajaran, yang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu metode pembelajaran kolaboratif dan metode pembelajaran mandiri. Sebagai variabel atribut adalah motivasi bermain komputer dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu motivasi bermain komputer tinggi dan motivasi bermain komputer rendah. Sedangkan variabel terikat adalah kreativitas bermain komputer.

  1. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini memerlukan dua macam data yang diperoleh dari dua macam instrumen, yaitu:

a. Tes kreativitas bermain komputer, mengukur kemampuan berpikir kreatif anak melalui media bermain komputer sebagai hasil dari proses belajar mengajar kreativitas bermain komputer selama kurun waktu tertentu yang mengacu pada garis-garis besar program pengajaran pendidikan anak usia dini. Tes kreativitas bermain komputer dikembangkan terdiri dari 20 butir soal, dengan tingkat reliabilitas 0,85;

b. Skala rating (skala penilaian) motivasi bermain komputer, mengukur perilaku motivasi anak bermain komputer yang dilakukan secara tidak langsung (melalui guru). Kedua instrumen ini diuji oleh 12 orang panelis dengan tingkat reliabilitas 0,75 dan melalui uji rating scale dengan koefisien reliabilitas di atas 0,82.


  1. Pengamatan/Penelitian Tindakan

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan rancangan faktorial 2 x 2, oleh karena itu analisis data dilakukan menggunakan Anava dua jalur dilanjutkan dengan uji Tukey untuk melihat sample effect.

  1. Analisis dan Refleksi Tindakan

Uji persyaratan analisis data untuk Anava dua jalur adalah uji normalitas data dengan uji Liliefors dan uji homogentias data dilakukan dengan uji Barlet.


BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Uji normalitas data penelitian dilakukan dengan menggunakan uji Liliefors, di mana harga Lhitung (Lo) untuk kedelapan kelompok data lebih kecil dari harga L tabel (Lt) pada = 0,05. Hal ini berarti bahwa ke delapan kelompok dataataraf signifikansi berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

Hasil uji homogenitas varians menyimpulkan bahwa Ho diterima. Artinya bahwa tidak ada perbedaan varians di antara keempat kelompok sel rancangan eksperimen data kreativitas anak dalam bermain komputer yang diuji. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keempat kelompok sel rancangan eksperimen data kreativitas anak dalam bermain komputer berasal dari populasi yang homogen.

Dari hasil pengujian persyaratan analisis data di atas dapat disimpulkan bahwa semua data berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan data dari semua kelompok memiliki varians populasi yang homogen. Jadi uji persyaratan analisis data dengan menggunakan Anava dua jalur telah terpenuhi dan seterusnya dapat digunakan untuk uji hipotesis.

B. Pembahasan

1. Uji Hipotesis Pertama

Hasil perhitungan dengan menggunakan Anava dua jalur diperoleh hasil bahwa nilai Fhitung = 5,0864 lebih besar dari nilai F tabel = 4,00 untuk taraf signifikansi 0,05 (Fhitung = 5,0864 > F tabel (0,05) (1;63) = 4,00). Ini berarti bahwa Ho ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian terdapat perbedaan pengaruh yang sangat signifikan antara metode pembelajaran kolaboratif dan metode pembelajaran mandiri terhadap kreativitas bermain komputer anak.

Selanjutnya diperhatikan skor rata-rata yang diperoleh kedua kelompok. Kelompok anak yang mengikuti metode pembelajaran kolaboratif (kelompok A1) memiliki skor rata-rata kreativitas bermain komputer sebesar 62,81, sedangkan kelompok anak yang mengikuti metode pembelajaran mandiri (kelompok A2) memiliki skor rata-rata kreativitas bermain komputer sebesar 59,13. Jadi uji Anava menunjukkan bahwa kreativitas bermain komputer anak yang mengikuti metode pembelajaran kolaboratif lebih tinggi daripada kreativitas bermain komputer anak yang mengikuti metode pembelajaran mandiri.

2. Uji Hipotesis Kedua

Hasil perhitungan dengan menggunakan Anava dua jalur diperoleh hasil bahwa nilai Fhitung = 0,3111 lebih kecil dari nilai F tabel = 4,00 untuk taraf signifikansi 0,05 (Fhitung = 0,3111 <>

Selanjutnya diperhatikan skor rata-rata yang diperoleh kedua kelompok. Kelompok anak yang mengikuti metode pembelajaran kolaboratif (kelompok B1) memiliki skor rata-rata kreativitas bermain komputer sebesar 661,44, sedangkan kelompok anak yang mengikuti metode pembelajaran mandiri (kelompok B2) memiliki skor rata-rata kreativitas bermain komputer sebesar 60,5. Jadi uji Anava menunjukkan bahwa kreativitas bermain komputer anak yang memiliki motivasi bermain komputer tinggi tidak lebih tinggi daripada kreativitas bermain komputer anak yang memiliki motivasi bermain komputer rendah.

3. Uji Hipotesis Ketiga

Hasil perhitungan dengan menggunakan Anava dua jalur diperoleh hasil bahwa nilai Fhitung = 9,9477 lebih besar dari nilai F tabel = 4,00 untuk taraf signifikansi 0,05 (Fhitung = 9,9477 > F tabel (0,05) (1;63) = 4,00). Ini berarti bahwa Ho ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian terdapat interaksi antara metode pembelajaran dan motivasi bermain komputer terhadap kreativitas bermain komputer anak.

4. Hipotesis Keempat

Hasil perhitungan dengan menggunakan uji Tukey menunjukkan bahwa kelompok anak yang memilik motiviasi bermain komputer tinggi dan mengikuti metode pembelajaran kolaboratif (A1B1) memiliki skor rata-rata kreativitas bermain komputer sebesar 65,88, sedangkan kelompok anak yang memiliki motivasi bermain komputer tinggi dan mengikuti metode pembelajaran mandiri (A2B1) memiliki skor rata-rata kreativitas bermain komputer sebesar 57. Rata-rata kuadrat dalam (RKD) pada perhitungan dengan Anava dua jalur besarnya 43,3958.

Selanjutnya hasil perhitungan dengan menggunakan uji Tukey diperoleh Qhitung = 5,3892, sedangkan Qtabel pada taraf signifikansi 0,05 besarnya 3,74. Ternyata nilai Qhitung lebih besar dari Q tabel pada taraf signifikansi 0,05, hal ini berarti bahwa kreativitas bermain komputer anak yang memiliki motivasi bermain komputer tinggi dan mengikuti metode pembelajaran kolaboratif lebih tinggi dari kreativitas bermain komputer kelompok anak yang mengikuti metode pembelajaran mandiri.

5. Hipotesis Kelima

Hasil perhitungan dengan menggunakan uji Tukey menunjukkan bahwa kelompok anak yang memilik motiviasi bermain komputer rendah dan mengikuti metode pembelajaran kolaboratif (A1B1) memiliki skor rata-rata kreativitas bermain komputer sebesar 59,75, sedangkan kelompok anak yang memiliki motivasi bermain komputer tinggi dan mengikuti metode pembelajaran mandiri (A2B1) memiliki skor rata-rata kreativitas bermain komputer sebesar 61,25, Rata-rata kuadrat dalam (RKD) pada perhitungan dengan Anava dua jalur besarnya 43,3958.

Selanjutnya hasil perhitungan dengan menggunakan uji Tukey diperoleh Qhitung = 0,910, sedangkan Qtabel pada taraf signifikansi 0,05 besarnya 3,74. Ternyata nilai Qhitung lebih kecil dari Q tabel pada taraf signifikansi 0,05, hal ini berarti bahwa kreativitas bermain komputer anak yang memiliki motivasi bermain komputer rendah yang mengikuti metode pembelajaran mandiri tidak lebih tinggi dari kreativitas bermain komputer kelompok anak yang mengikuti metode pembelajaran kolaboratif.


BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uji hipotesis seperti dipaparkan pada uraian terdahulu, selanjutnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Secara keseluruhan terdapat perbedaan yang signifikan perolehan kreativitas bermain komputer antara kelompok anak yang diberi metode pembelajaran kolaboratif dan kelompok anak yang diberi metode pembelajaran mandiri. Perolehan kreativitas bermain komputer bagi kelompok anak yang diberi metode pembelajaran kolaboratif hasilnya lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok anak yang diberi metode pembelajaran mandiri. Secara umum metode pembelajaran kolaboratif dalam pelajaran komputer lebih efektif daripada metode pembelajaran mandiri untuk meningkatkan kreativitas bermain komputer bagi pendidikan anak usia dini Pangudi luhur di Jakarta Selatan.

2. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan perolehan kreativitas bermain komputer antara kelompok anak yang memiliki motivasi bermain tinggi dan kelompok anak yang memiliki motivasi bermain rendah.

3. Secara keseluruhan terdapat pengaruh interaksi antara metode pembelajaran dan motivasi bermain komputer terhadap kreativitas bermain komputer pada pendidikan anak usia dini Pangudiluhur, Jakarta Selatan.

4. Kreativitas bermain komputer untuk kelompok anak yang memiliki motivasi bermain komputer tinggi yang mengikuti metode pembelajaran kolaboratif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok anak yang memiliki motivasi bermain komputer tinggi yang mengikuti metode pembelajaran mandiri. Hal ini berarti bahwa bagi kelompok anak yang memiliki motivasi bermain komputer tinggi, melalui metode pembelajaran kolaboratif lebih efektif sebagai metode pembelajaran untuk meningkatkan kreativitas bermain komputer anak usia dini daripada metode pembelajaran mandiri.

5. Kreativitas bermain komputer untuk kelompok anak yang memiliki motivasi bermain komputer rendah yang mengikuti metode pembelajaran mandiri tidak lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok anak yang memiliki motivasi bermain komputer rendah yang mengikuti metode pembelajaran kolaboratif dalam pembelajaran kreativitas bermain komputer. Hal ini berarti bahwa kreativitas bermain komputer bagi kelompok anak yang memiliki motivasi bermain komputer rendah, baik melalui pemberian metode pembelajaran mandiri maupun metode pembelajaran kolaboratif sama-sama sebagai metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk kelompok anak yang memiliki motivasi bermain komputer rendah.

B. Saran-Saran

Berdasarkan kesimpulan dan implikasi penelitian di atas, maka disampaikan saran atas temuan penelitian ini sebagai berikut:

  1. Lembaga pendidikan anak usia dini

Lembaga pendidkan anak usia dini hendaknya dapat mengadopsi inovasi dalam bidang pendidikan, khususnya dalam upaya menata kurikulum berbasis kreativitas melalui media komputer. Selain itu, hendaknya lebih intensif dalam upaya peningkatan kompetensi pendidik komputer baik melalui pelatihan maupun magang dalam bidang pembelajaran komputer.

  1. Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah (SubDirektorat TK & PLB) dan Direktorat Pendidikan anak Usia Dini (PAUD)

Kurikulum berbasis kreativitas belum banyak dikembangkan pada pendidikan usia dini (TK/RA ataupun TPA). Untuk itu, hasil penelitian ini merupakan masukan sebagai referensi dalam penyusunan kurikulum berbasis kreativitas, khususnya dalam pelajaran komputer untuk anak usia dini (TK/RA dan TPA).

  1. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)

LPTK penghasil tenaga pendidikan anak usia dini (PAUD) ataupun PGTK hendaknya dapat mengadopsi inovasi pendidikan dan pembelajaran melalui hasil penelitian untuk mahasiswa dan menambahkan satu kompetensi dalam kurikulum LPTK yaitu ”aplikasi komputer untuk pendidikan anak”. Hal ini dimaksudkan agar selain mahasiswa memiliki wawasan inovatif dalam pendidikan dan pembelajaran juga melek teknologi komputer yang berguna untuk dapat merancang pembelajaran berbasis komputer bagi anak prasekolah atau anak usia dini.


DAFTAR PUSTAKA

Craft Anna. Me-refresh Imajinasi & Kreativitas Anak-anak. (Terjemahan oleh Chaerul Annam). Depok: Cerdas Pustaka, 2004.

Dedi Supriyadi. Kreativitas, Kebudayaan, & Perkembangan IPTEK, Bandung: Alfabeta. 1994.

Munandar, Utami. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta, 2004.

Pannen Paulina, Mustafa Dina, Sekarwinahyu Mestika.(2001). Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Jakarta: Dikti, Depdiknas.

Paulus B Paul, Nijstad A. Bernard. Group Creativity: Innovation Through Collaboration. Oxford University Press. 2004.

Semiawan Conny R. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta: Grasindo, 1997.
Woolfolk Anita E, Nicolich
Lorraine McCune. Educational Psychology for Teacher. New Jersey: Prentice Hall, Inc, 1984.